Senin, 09 Oktober 2017

Hanya di Jalanan Orang Jujur ditemukan


















Sebagaimana Jumat adalah masa tenang bagi enam hari waktu kerja
Maka Ramadan adalah kesunyian bagi sebelas bulan keberisikan.
Motor dan mobilmu telah menyemburkan oksidan dan polusi udara
Mestinya, engkau tidak menambah keberisikan jalan raya dengan polusi  suara
(M. Faizi, Toa-Toa Keladi, Hal: 125).

Gubuhan puisi M. Faizi di atas mendiskripsikan tentang betapa langkanya menemukan kesunyian di jalanan. Suka cita ditampakkan lewat keberisikan, karena ketentramana manusia ada pada kesunyiaannya. Selain suara mesin, suara klakson, teriakan manusia, sampai suara knalpot sejatinya menampilkan wajah jalanan yang bisa menyenangkan karena membawa pengetahuan baru tentang arti kehidupan sesungguhnya. Buku mungil karya M. Faizi ini, mengobrak-abrik imajinasi pembaca akan kehidupan jalanan yang tidak biasa dan jarang diekspos penulis.

Di jalanan, sejatinya berkeliaran anak Adam dari segala takhta dan kasta: para ulama, ahli fikih, astronom, politikus, guru, bajingan, copet, rampok, musisi dan lain-lain. Di jalanan kita juga dipertontonkan dengan hal-hal nyeleneh yang kadung dianggap biasa; seperti keberadaan polisi tidur yang tugasnya menyetop pengendara kalap yang sulit mengendorkan gas (kebut-kebutan), atau fenomena tarif kembalian tol dan SPBU kadang tidak diberikan atau mungkin kita tidak mengambilnya. Hati-hati, kalau dikonversikan itulah usaha kecil-kecilan (korupsi) yang dapat untung besar-besaran. Atau cerita tentang tabahnya truk gandeng yang jalannya ngesot serta dapat cibiran menyakitkan dari pengendara lainnya. Selain menanggung muatan berat ia mendapat cobaan dengan lengking klakson kendaraan lain yang buru-buru di belakangnya.

Di jalanan, pergerakan manusia juga lebih grusa-grusu ketimbang di tempat lain, maka digunakanlah bahasa khusus untuk berkomunikasi. Bahasanya pun harus singkat dan cepat. Di antara tujuan dipasangnya rambu-rambu lalu lintas adalah untuk keperluan ini. Begitu pula “bahasa bunyi” dan “bahasa cahaya” merupakan simbol-simbol yang digunakan oleh para pengguna jalan raya. Bahasa bunyi identik dengan klakson untuk memohon perhatian, klakson adalah morse jalanan laiknya anggota pramuka. Tapi ketahuilah, bunyi klakson itu bukan untuk bersenang-senang—meski beberapa bulan terakhir ini ada fenomena om.. telolet.. om..—maka janganlah buang klakson ke sembarang telinga.

Bahasa cahaya adalah bahasa komunikasi di jalanan, sering sesama pengguna jalan raya bisa berkomunikasi: memainkan lampu utama atau lampu depan (seperti nge-dim) bisa berarti sang sopir tengah menyapa orang/kenalan. Bisa juga untuk menggoda calon penumpang agar ikut, dan bisa diartikan juga minta dikasi jalan. Atau ketika lampu utama itu menyala terus-menerus di siang hari, itu tandanya: minta jalan dan sangat minta perhatian, lawan arah hendaknya mengalah (seperti ambulans, patwal, mobil derek) mau lewat dan harus dikasih jalan, dan terakhir mungkin lampunnya sedang korsleting (hal: 75).

Di jalanan, kita juga menemukan semangat gotong-royong dan tolong menolong hidup bahagia setelah kehidupan yang serba individualistik. Berbuat baik di jalanan bisa jadi akan terbalas di di rumah, berbuat baik di kantor boleh jadi terbalas di jalan, berbuat baik kepada siapa pun dan di mana pun akan terbalas di mana-mana. Kita lihat betapa serombongan Vespa yang begitu solid bahu-membahu, begitu pula ketika melihat konvoi truk: mogok satu, mogok semua. Kekompakan dan semangat berempati yang sulit ditemukan di era saat ini.

Di jalanan orang galak ditemukan, di jalanan orang sabar/kalem ditemukan, di jalanan orang lugu ditemukan, dan di jalanan orang jujur lebih banyak ditemukan. Di zaman yang semakin kebak akan kejahatan ini, di saat stok orang jujur mulai punah di muka bumi, ternyata jalanan adalah rumah nyaman mereka saat ini. Bisa saja kan, seorang sarjana memalsukan skripsi, peneliti memalsu data, wartawan memalsu berita, ustaz memalsu dirinya sendiri. Akan tetapi yang tersisa, kepolosan hanya ada di jalan raya. Tak akan ada kepalsuan karena di jalan raya orang pasti mengeluarkan watak aslinya. Begitu sergah M. Faizi.

Terkadang, kita melihat ada orang yang tampak saleh karena busananya, padahal pikirannya jorok dan mesum. Kita melihat orang terkadang sangat sopan saat bicara tapi sangat kejam di saat berbeda. Semua itu bisa dipalsukan. Tapi di jalan raya, terutama ketika mereka telah berada di belakang kemudi, sifat asli manusia akan muncul apa adanya.

Di media sosial, seseorang itu bisa tampak selalu lebih daripada aslinya: tampak lebih pintar dengan bantuan ensiklopedia semacam Wikipedia, tampak lebih rupawan dengan bantuan aplikasi digital, tampak lebih bijak dengan kata-kata mutiara pinjaman. Di forum-forum diskusi, seorang narasumber dapat membuat dirinya lebih elegan dengan segepok buku dan makalah. Di mimbar, seseorang bisa jadi seperti ulama hanya dengan kutip sana-sani dari hadis-hadis terjemahan yang ditelusuri dengan mesin pencari (hal: 157).

Di jalan raya, kita adalah diri sendiri. Di sana, kita tak bisa menjadi orang lain. Di jalan rayalah watak asli seseorang itu tampak nyata dan apa adanya. Ketika ada orang bilang bahwa orang jujur susah ditemukan, katakan padanya, “Lihatlah lalu lalang orang di jalan raya. Orang-orang jujur numpuk di sana.”

Judul Buku    : Celoteh Jalanan
Penulis          : M. Faizi
Cetakan         : I, Maret 2017
Penerbit         : BASABASI
ISBN              : 978-602-61160-4-8
Tebal Halaman: 180
Peresensi       : Khairul Mufid*
Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com